Penelitian digambarkan sebagai penyelidikan yang sistematis dimana data dikumpulkan, dianalisis dan diinterpretasi.
Proses tersebut menggunakan beberapa cara dalam upaya untuk memahami, menjelaskan, memprediksi atau mengontrol fenomena yang diteliti.
Jika langkah-langkah tersebut menggunakan kerangka berbeda maka mempengaruhi cara mempelajari dan menginterpretasi sehingga menyebabkan proses kerja berbeda pula.
Ini adalah pilihan paradigma yang ditetapkan dalam maksud dan tujuan penelitian. Tanpa paradigma sebagai langkah pertama, maka tidak ada dasar pilihan untuk selanjutnya mengenai desain penelitian yang dilakukan.
Paradigma tidak dibahas di dalam semua teks penelitian dan jika ada terkadang memiliki penekanan bervariasi dan definisi sering bertentangan. Hal ini dapat menyebabkan kebingungan para peneliti di awal karir.
Banyak klaim dibahas dalam literatur mengenai paradigma penelitian seperti positivisme (postpositivisme), konstruktivisme, interpretivisme, transformatisme, emansipatorisme, kritisme, pragmatisme dan dekonstruktisme.
Penggunaan istilah yang berbeda dalam teks-teks yang berbeda dan klaim bervariasi bahkan bertentangan mengenai paradigma penelitian kadang-kadang menyebabkan kebingungan.
Polemik
mungkin tidak akan selesai dan biarlah itu menjadi tugas para filosof.
Tugas anda sebegai peneliti adalah cepat bergegas ke laboratorium atau
turun ke lapangan.
Realitas penelitian merujuk 2 paradigma sebagai landasan dalam hal ini yaitu paradigma positivisme (postpositivisme) dan paradigma interpretivisme (konstruktivisme). Berikut penjelasannya:
1. Paradigma Positivisme dan Postpositivistisme
Positivisme tumbuh dari rasionalistik-empirik dengan ikon Aristoteles, Francis Bacon, John Locke, August Comte, Emmanuel Kant dan lain-lain. Paradigma ini menerapkan pengamatan dan pengukuran untuk memprediksi.
Positivisme dan postpositivisme melahirkan pendekatan kuantitatif dalam pengumpulan data dan analisis. Suatu bukti dan fakta disebut data jika memiliki pola dan berjalan dalam sebuah skala pengukuran.
2. Paradigma Interpretivisme atau Konstruktivisme
Interpretivisme atau konstruktivisme tumbuh dari fenomenologi Edmund Husserl, Wilhelm Dilthey dan lain-lain. Paradigma ini melandaskan pemahaman interpretatif yang disebut hermeneutika.
Interpretivisme atau konstruktivisme melahirkan pendekatan kualitatif atau kombinasi keduanya yaitu metode kualitatif dan kuantitatif (metode campuran) sehingga data kuantitatif dapat digunakan untuk mendukung atau memperluas deskripsi.
Saran Bacaan:
Merton, R.K., & Kendall, P.L. (1946). The focused interview. The American Journal of Sociology, 51, 6, 541-557.
Creswell, J.W. (2003). Research design: Qualitative, quantitative, and mixed methods approaches. (2nd ed.) Thousand Oaks: Sage.
N. K. Denzin & Y. S. Lincoln (Eds.), Handbook of Qualitative Research (2nd ed., pp. 163-188). Thousand Oaks, CA: Sage Publications, Inc.
Proses tersebut menggunakan beberapa cara dalam upaya untuk memahami, menjelaskan, memprediksi atau mengontrol fenomena yang diteliti.
Jika langkah-langkah tersebut menggunakan kerangka berbeda maka mempengaruhi cara mempelajari dan menginterpretasi sehingga menyebabkan proses kerja berbeda pula.
Ini adalah pilihan paradigma yang ditetapkan dalam maksud dan tujuan penelitian. Tanpa paradigma sebagai langkah pertama, maka tidak ada dasar pilihan untuk selanjutnya mengenai desain penelitian yang dilakukan.
Paradigma tidak dibahas di dalam semua teks penelitian dan jika ada terkadang memiliki penekanan bervariasi dan definisi sering bertentangan. Hal ini dapat menyebabkan kebingungan para peneliti di awal karir.
Banyak klaim dibahas dalam literatur mengenai paradigma penelitian seperti positivisme (postpositivisme), konstruktivisme, interpretivisme, transformatisme, emansipatorisme, kritisme, pragmatisme dan dekonstruktisme.
Penggunaan istilah yang berbeda dalam teks-teks yang berbeda dan klaim bervariasi bahkan bertentangan mengenai paradigma penelitian kadang-kadang menyebabkan kebingungan.
Realitas penelitian merujuk 2 paradigma sebagai landasan dalam hal ini yaitu paradigma positivisme (postpositivisme) dan paradigma interpretivisme (konstruktivisme). Berikut penjelasannya:
1. Paradigma Positivisme dan Postpositivistisme
Positivisme tumbuh dari rasionalistik-empirik dengan ikon Aristoteles, Francis Bacon, John Locke, August Comte, Emmanuel Kant dan lain-lain. Paradigma ini menerapkan pengamatan dan pengukuran untuk memprediksi.
Positivisme dan postpositivisme melahirkan pendekatan kuantitatif dalam pengumpulan data dan analisis. Suatu bukti dan fakta disebut data jika memiliki pola dan berjalan dalam sebuah skala pengukuran.
2. Paradigma Interpretivisme atau Konstruktivisme
Interpretivisme atau konstruktivisme tumbuh dari fenomenologi Edmund Husserl, Wilhelm Dilthey dan lain-lain. Paradigma ini melandaskan pemahaman interpretatif yang disebut hermeneutika.
Interpretivisme atau konstruktivisme melahirkan pendekatan kualitatif atau kombinasi keduanya yaitu metode kualitatif dan kuantitatif (metode campuran) sehingga data kuantitatif dapat digunakan untuk mendukung atau memperluas deskripsi.
Paradigma | Idioma | Pendekatan | Metode |
Positivisme dan Positivisme | Reduksionisme, verifikasi teori, kausalitas, determinasi, normatif. | Kuantitatif | Survei (longitudinal, cross-sectional, korelasional) dan eksperimental (quasi dan ex-post facto). |
Interpretivisme atau konstruktivisme | Naturalistik, hermeneutik, konstrusi sosial dan sejarah, teori baru. | Kualitatif | Biografi, Fenomenologi, ethnografi dan case study. |
Saran Bacaan:
Merton, R.K., & Kendall, P.L. (1946). The focused interview. The American Journal of Sociology, 51, 6, 541-557.
Creswell, J.W. (2003). Research design: Qualitative, quantitative, and mixed methods approaches. (2nd ed.) Thousand Oaks: Sage.
N. K. Denzin & Y. S. Lincoln (Eds.), Handbook of Qualitative Research (2nd ed., pp. 163-188). Thousand Oaks, CA: Sage Publications, Inc.
No comments:
Post a Comment