Bab
I Pendahuluan
1.6.
Latar Belakang Masalah
Kebijakan akuntansi
merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari laporan keuangan yang disusun oleh manajemen. Kebijakan akuntansi
memuat prinsip khusus, dasar, konvensi, peraturan dan praktik yang ditetapkan perusahaan dalam
menyusun laporan keuangan. International accounting standar (ias)
mendefinisikan kebijakan akuntansi sebagai serangkaian kebijakan perusahaan
yang dipilih dari berbagai alternatif metode akuntansi yang didasarkan pada
standar akuntansi keuangan, baik yang mempengaruhi laba-rugi, neraca, laporan
arus kas dan laporan ekuitas perusahaan. Kebijakan akuntansi memberikan
alternatif metode akuntansi yang dapat mempengaruhi kualitas dan kuantitas pengungkapan
keuangan (fields, lys,
dan vincent, 2001). Lebih
lanjut, hunt (2001) mengungkapkan bahwa kuantitas laba yang dilaporkan
perusahaan ditentukan oleh kebijakan akuntansi yang dipilih oleh manajemen.
Kebijakan akuntansi
memberikan alternatif pilihan metode
akuntansi yang berdampak
pada laba yang Dilaporkan perusahaan, sehingga laba
yang dihasilkan perusahaan dapat berbeda. Sebagai contoh kebijakan penilaian
persediaan memberikan alternatif penilaian persediaan first
in firs out
(fifo), rata-rata, atau
last in firs out (lifo), pada
kondisi inflasi perusahaan yang menerapkan
metode penilaian persediaan last
in first out (lifo) akan menghasilkan
laba yang relatif lebih rendah dibanding
kebijakan akuntansi persediaan
first in first out (fifo) (lee dan hsieh, 1985).
Data bursa
efek jakarta antara tahun
1995 sampai dengan tahun 2000 yang berhubungan dengan kebijakan
akuntansi penilaian persediaan menunjukan bahwa pada perusahaan manufaktur
sebanyak 74 perusahaan menerapkan metode rata-rata, 18 perusahaan menerapkan
metode fifo, 30
perusahaan mengkombinasikan fifo
dan rata-rata, 6 perusahaan menerapkan indentifikasi khusus
dikombinasikan dengan rata-rata
dan fifo (mukhlasin,
2002). Sementara itu,
missonier-piera (2004) menemukan bahwa
sebanyak 37% dari 106 emiten swiss stock exchange (swx) pada
tahun 1994-1995 memilih
kebijakan akuntansi yang
sifatnya akselerasi (menaikkan laba) dan sebanyak 63% memilih kebijakan akuntansi yang menunda
pelaporan laba. Perbedaan kebijakan akuntansi antar perusahaan yang terdaftar
di bej maupun
di swx mengindikasikan bahwa masing-masing
perusahaan mempunyai motif dan tujuan yang berbeda dalam memilih kebijakan
akuntansi, sehingga motif memilih
kebijakan akuntansi perlu diteliti.
Scott (2000) mengungkapkan
bahwa teori akuntansi positif berhubungan dengan prediksi beberapa tindakan,
seperti pemilihan kebijakan
akuntansi oleh perusahaan dan bagaimana perusahaan
merespon standar akuntansi yang baru.
Penelitian berbasis teori
akuntansi positif yang terkait
dengan rasionalitas pemilihan kebijakan akuntansi sudah banyak dilakukan. Namun
demikian sebagian besar obyek penelitian dari artikel yang dipublikasikan dalam
jurnal internasional adalah perusahaan di amerika serikat (missonier-piera,
2004).
Kajian tentang
kebijakan akuntansi di indonesia diantaranya
dilakukan oleh siregar
dan utama (2004) yang meneliti discretionary accrual. Penelitian kebijakan akuntansi yang
fokus pada pemilihan satu metode akuntansi
diantaranya dilakukan oleh mukhlasin (2002), taqwa, s., sugiyanto, f.x., dan daljono (2003), rustardy, w., ratnawati, dan
kurnia (2004), dan
mukhlasin (2004). Sementara itu,
penelitian di indonesia yang meneliti lebih dari satu kebijakan akuntansi
sebagai satu strategi kebijakan
akuntansi (kebijakan akuntansi ganda) Perusahaan, sepanjang
pengetahuan peneliti belum diteliti. Penelitian ini mencoba
mengisi kelangkaan penelitian tentang rasionalitas pemilihan kebijakan
akuntansi dengan obyek perusahaan yang terdaftar di bursa efek jakarta.
Standar akuntansi
keuangan sebagai panduan dalam menyusun laporan keuangan
diadopsi dari standar akuntansi internasional (ias) yang lebih cenderung
mengacu pada standar
akuntansi amerika serikat, sehingga standar akuntansi antara
indonesia dengan amerika tidak jauh berbeda. Namun demikian lingkungan
penerapan standar akuntansi antara indonesia dengan amerika sangat berbeda.
Lingkungan amerika sudah mencerminkan
sistem perekonomian pasar yang
maju, sistem perbankan yang
canggih, sistem peradilan
yang kuat dan mantap, pasar modal sebagai sumber utama pendanaan
perusahaan, pengakuan hak milik individual, perseroan terbuka
sebagai bentuk perusahaan
yang umum, penekanan pada penilaian prestasi individu, pemisahan
pemilikan dan manajemen secara tegas,
proses pengambilan keputusan yang
rasional dan sistem birokrasi yang
sudah mantap (suwardjono,
1989). Sementara itu di
indonesia sistem perokonomian
yang masih cenderung monopolis, bursa
efek yang belum berjalan dengan baik sehingga belum
dijadikan sumber utama pendanaan bagi perusahaan, belum banyak perusahaan yang
terdaftar di bursa efek, dan sistem pemerintahan yang birokratis.
Perbedaan lingkungan
antara amerika dengan indonesia dapat mengakibatkan perbedaan karakteristik konflik agensi.
Konflik agensi timbul karena kepemilikan yang
menyebar. Struktur kepemilikan
yang menyebar luas umumnya hanya
terdapat di amerika serikat dan inggris.
Di negara-negara maju
lainnya dan negara- negara sedang berkembang, umumnya
perusahaan masih dikendalikan oleh keluarga (siregar dan utama, 2005).
Anderson, et al
(2002) mengatakan bahwa
perusahaan yang dikendalikan oleh keluarga mempunyai struktur yang
menyebabkan berkurangnya konflik agensi antara pemegang saham dan
kreditur, dimana kreditur menganggap kepemilikan keluarga lebih melindungi
kepentingan kreditur. Perbedaan penyebaran kepemilikan mengindikasikan adanya perbedaan karakteristik agensi antara amerika dan indonesia.
Penelitian terdahulu
tentang kebijakan akuntansi lebih banyak dilakukan pada pasar modal yang efisien (usa), sementara itu pasar modal di indonesia bentuknya masih dipertanyakan. Walaupun belum efisien Berdasarkan informasi, jogiyanto
(2005) mengemukakan bahwa ide pasar efisien secara keputusan membuka jalan
riset yang masih terbuka lebar di pasar modal indonesia. Perbedaan lingkungan
secara umum, karakteristik agensi dan
efisiensi pasar modal
menjadikan penelitian kebijakan
akuntansi perlu dilakukan pada perusahaan yang terdaftar di bursa efek
indonesia.
Beberapa hal yang juga
memotivasi penelitian ini adalah kebijakan akuntansi ganda belum banyak
diteliti, perbedaan teorities tentang motivasi memilih kebijakan
akuntansi, hasil penelitian
terdahulu yang tidak konsisten, perlunya motivasi ganda
dalam memilih kebijakan akuntansi dan perlunya dimensi lain (konservatisme
akuntansi perusahaan) dalam memilih kebijakan akuntansi. Masing-masing motivasi
penelitian dibahas secara rinci pada penyajian dibawah ini.
Pertama, kebijakan
akuntansi ganda belum banyak
diteliti. Sebagaian besar penelitian tentang rasionalitas pemilihan kebijakan
akuntansi hanya mengisolasi
pada satu kebijakan akuntansi saja (kebijakan akuntansi tunggal) (field,
et al 2001), misalnya pemilihan metode penilaian persediaan, pemilihan metode
penyusutan, pemilihan metode goodwill.
Penelitian dengan satu metode
akuntansi diantaranya diteliti
oleh Hagerman Dan zmijewski
(1979), collins, rozeff, dan dhaliwal
(1981), dhaliwal (1980), holthousen (1990),
dhaliwal, salamon, dan smith. (1982),
dhaliwal (1988), niehaus (1989), chusing dan leclere (1992), kuo (1993)
dan christie dan zimmerman (1994), cullinan dan bline (2003). Hasil penelitian
kebijakan akuntansi tunggal hanya
memberikan pemahaman tentang
pemilihan kebijakan akuntansi secara parsial sehingga hasilnya juga hanya
terfokus pada metode akuntansi tertentu (zmijewski dan hagerman, 1981). Hagerman
dan zmijewsky (1981) mengungkapkan bahwa gambaran penelitian kebijakan
akuntansi dibandingkan penelitian tahun 1979 (metode tunggal) memberikan bukti yang kuat bahwa alternatif pemilihan
akuntansi membutuhkan pengujian dalam
konteks menyeluruh ketika manajer
dihadapkan dengan lebih dari satu kebijakan akuntansi yang dipilih.
Laporan keuangan
perusahaan dihasilkan dari satu paket kebijakan akuntansi yang meliputi
beberapa kebijakan akuntansi, sehingga
laporan keuangan mencerminkan lebih dari satu metode akuntansi.
Sehubungan dengan itu
pemahaman atas laporan keuangan tidak
dapat dilihat hanya
dengan mengkaji satu metode
akuntansi saja. Penelitian ini
berusaha menjelaskan kebijakan akuntansi
yang menggabungkan Beberapa
metode akuntansi agar dapat dipahami rasionalitas manajemen dalam memilih
kebijakan akuntansi perusaahaan. Penelitian tentang pemilihan kebijakan akuntansi
ini menindak lanjuti
rekomendasi dari field et al
(2001) tentang perlunya penelitian
kebijakan akuntansi agar kembali ke
dasar dan menggunakan keahlian sebagai akuntan untuk mengukur multidimensional
kebijakan akuntansi secara langsung melalui laporan keuangan. Pendekatan ini
mengembangkan penelitian yang
dilakukan missonier- piera
(2004) dan zmijewski dan hagerman (1981). Kebijakan akuntansi yang diteliti
meliputi gabungan dari kebijakan penilaian persediaan, penyusutan aktiva tetap,
dan penilaian piutang. Kebijakan penilaian persediaan, penyusutan aktiva tetap,
dan penilaian piutang dipilih karena karena ketiga kebijakan akuntansi ini ada
pada setiap perusahaan manufaktur.
Kedua, perbedaan
teorities tentang motif memilih kebijakan akuntansi. Manajer (agen) diberikan
otoritas untuk mengambil keputusan (jensen dan meckling, 1976). Manajer dapat
memilih alternatif kebijakan akuntansi sesuai dengan konsekuensi yang
diharapkannya. Dalam konteks teori
akuntansi positif, rasionalitas
manajemen dalam memilih kebijakan
akuntansi oleh watts
dan Zimmerman (1986, 1990) diorganisasikan menjadi
bonus plan hyphotesis, debt covenant hyphotesis dan political cost
hyphotesis.
Bonus plan hypothesis
menyatakan bahwa manajer memilih kebijakan akuntansi yang dapat meningkatkan
laba untuk memaksimalkan kompensasi (robbin et al 1993). Penelitian terdahulu
memproksi bonus plan dengan ada tidaknya rencana bonus (robbins et al 1993;
innoue dan thomas 1996), return on assets (missioner-pierra, 2004), dan
kepemilikan manajemen (nihaus, 1989). Pada penelitian ini bonus plan diproksi
dengan ada tidaknya rencana kompensasi dan kepemilikan manajemen. Kedua proksi
ini dipilih untuk lebih menjelaskan tentang motif untuk memaksimalkan kompensasi. Ada tidaknya rencana bonus
menggambarkan hubungan yang terpisah
antara pemilik dengan manajemen. Manajemen akan memilih kebijakan
akuntansi yang dapat menaikkan laba jika ada rencana bonus. Sementara itu,
kepemilikan manajemen menggambarkan konflik kepentingan antara manajemen
sebagai pemilik dengan manajemen sebagai
pemegang saham. Kepemilikan manajemen yang tingga agensi problemnya rendah,
sehingga keinginan untuk mendapatkan
bonus bukan alasan
untuk memilih Kebijakan akuntansi
yang dapat meningkatkan bonus (jensen dan mckling, 1976 dan niehaus,
1989).
Kebijakan akuntansi yang dapat menaikkan laba seperti halnya
bonus plan juga akan dipilih oleh
manajer perusahaan dalam
hipotesis debt covenant. Debt covenant pada
penelitian terdahulu diproksi
dengan leverage. Proksi ini
menggambarkan tingkat ketergantungan perusahaan pada
debtholder. Semakin tinggi
leverage, maka ketergantungan
perusahaan pada debtholder juga semakin tinggi sehingga keinginan untuk
menghindari pelanggaran debt covenant juga akan semakin tinggi. Manajer dengan
tingkat utang yang lebih tinggi akan menggunakan pilihan kebijakan akuntansi
untuk memperbaiki rasio keuangan
dan mengurangi kemungkinan
pemutusan perjanjian utang (zhou, 2000).
Motif bonus plan dan
debt covenant menarik untuk diteliti. Walaupun kedua motif ini mengharuskan
manajemen memilih kebijakan akuntansi yang dapat menaikkan laba, tetapi
pengaruhnya pada transfer kekayaan berbeda. Bonus plan berarti transfer
kekayaan dari perusahaan ke
manajemen, sedangkan hipotesis debt covenant menunjukkan adanya
transfer kekayaan dari perusahaan
ke debtholder, dengan
demikian, transfer Kekayaan dari
perusahaan ke stockholder menjadi berkurang.
Hipotesis political
cost menyatakan bahwa perusahaan yang menghadapi tekanan politik akan
menggunakan alternatif akuntansi
yang mengurangi laba sebagai
dasar untuk menghindari
transfer kekayaan dari
perusahaan ke pihak ketiga (wojdat, 1999). Political cost dapat timbul karena adanya tekanan dari
pihak luar perusahaan (misalnya, lembaga swadaya masyarakat, dewan
perwakilan rakyat, partai
politik, dan pemerintah) dan dari dalam perusahaan
(buruh/karyawan). Tekanan dari luar perusahaan dalam penelitian ini diproksi dengan besarnya
perusahaan. Besarnya perusahaan dijadikan
proksi political cost karena perusahaan besar cenderung
mendapat intervensi dari
pemerintah, selain itu,
perusahaan besar juga menjadi sorotan publik sehingga
memerlukan regulasi yang lebih cermat
(lamm-tennan dan rollins,
1994). Tekanan dari dalam perusahaan
diproksi dengan jumlah karyawan. Missonier-pierra, (2004) mengungkapkan bahwa sumber potensial political cost berasal
dari konflik yang terjadi antara manajer
dengan karyawan dan
atau serikat pekerja.
Hipotesis bonus plan
dan debt covenant menunjukkan bahwa demi kepentingan opportunis
manajemen mengejar kompensasi
atau menghindari dilanggarnya perjanjian hutang, manajemen
akan memilih kebijakan
akuntansi yang dapat menaikkan laba (deggan 2004, watts dan zimmerman
1990). Sementara itu, hipotesis political cost menurunkan laba perusahaan demi menghindari tekanan politik. Perbedaan konseptual motif
pemilihan kebijakan akuntansi mengindikasikan bahwa hipotesis bonus plan,
hipotesis debt covenant dan hipotesis political cost dalam pemilihan kebijakan
akuntansi masih menarik untuk dikaji ulang.
Ketiga, inkonsistensi
hasil penelitian terdahulu. Penelitian
terdahulu dengan dasar
pertimbangan hipotesis bonus plan, debt covenant, dan political cost memberikan hasil
yang berbeda-beda (scott,
2000 dan field, et al.
2001). Hipotesis bonus plan pada kebijakan akuntansi penyusutan
didukung hasil penelitian hagerman dan zmijewski (1979) dan
skinner (1993), kebijakan akuntansi
perusahaan terkait strategi
laba didukung oleh zmijewski dan hagerman (1981), skinner (1993), robbin, turpin,
dan polinski (1993), chase dan coffman,
(1994), dan cochran, (2001). Sementara
itu, hagerman dan
zmijewski (1979) terkait dengan
metode penilaian persediaan Mendapatkan hasil yang tidak signifikan untuk hipotesis
bonus plan. Hasil yang tidak signifikan
juga didapat dari penelitian bowen, r.m., noreen, e.w., dan lacey, j.m.
(1981) tentang kapitalisasi bunga,
hunt (1985) tentang persediaan, dan press dan weintrop
(1990) tentang strategi laba.
Penelitian tentang
kebijakan akuntansi persediaan, penyusutan,
kapitalisasi bunga, dan strategi
laba untuk hipotesis debt covenant
didukung collins, rozeff, dan
dhaliwal (1981), dhaliwal (1980), zmijewski
dan hagerman (1981), dhaliwal, et al. (1982),
dhaliwal (1988), niehaus (1989), chusing dan leclere (1992), kuo (1993)
dan christie dan zimmerman (1994). Sementara itu, beberapa penelitian
mendapatkan hasil yang tidak signifikan, diantaranya, hunt (1985), lee dan
hsieh (1985), caster dan simon (1986), niehaus (1989), knoeber ddan mckee
(1991), dan bowen, ducharme dan shores (1995).
Penelitian terdahulu
tentang political cost dengan proksi
ukuran perusahaan memberikan
hasil yang variatif. Morse dan
richardson (1983), abdel
khalik (1985), dopuch dan pincus
(1988), lindahl (1989), lee dan hsieh (1985), dan zmijewski
dan hagerman (1981)
mendapatkan hasil yang
signifikan untuk kebijakan akuntansi persediaan, penyusutan dan
strategi laba. Sedangkan
hasil yang perlawanan ditemukan
oleh hagerman dan
zmijewski (1979), dan niehaus (1989). Sementara itu, kekuatan buruh
sebagai proksi political
cost memberikan hasil
yang relatif konsisten, missonier-piera (2004),
peltier-rivest (1999) dan depoers (2000) mendapatkan hasil yang
signifikan untuk proksi kekuatan buruh.
Keempat, perlunya motif
konservatisme akuntansi. Inkonsistensi hasil penelitian terdahulu
mengindikasikan perlunya pendekatan lain
yang mungkin dapat menjelaskan perilaku
manajemen dalam memilih kebijakan akuntansi yaitu nilai
konservatisme akuntansi perusahaan. Nilai konservatisme akuntansi perusahaan
diproksi dengan ada tidaknya akuntan yang menjadi anggota dewan
komisasris atau dewan
direktur. Proksi ini dipilih
karena nilai konservatisme akuntansi dapat timbul dari
konsekuensi institusional yaitu
latar belakang pendidikan akuntansi dan keanggotaan profesi akuntansi
(gray’s 1988), sehingga perusahaan yang dewan komisaris atau dewan direkturnya
berpendidikan akuntansi atau anggota profesi akuntan akan lebih konservatif.
Fama (1980)
menyebutkan bahwa di
dalam perusahaan terdapat internal monitoring manajer oleh manajer itu
sendiri. Monitoring antar
manajer dapat Terjadi karena adanya perbedaan
kepentingan. Manajer dengan
tingkat konservatisme akuntansi
yang lebih tinggi akan
cenderung lebih mengutamakan
prinsip kehati-hatian dalam memilih kebijakan akuntansi dengan harapan
akan menghasilkan laporan keuangan yang berkualitas. Sementara itu manajer dengan tingkat konservatisme yang
lebih rendah lebih menyukai untuk bersikap oportunis dengan memilih kebijakan
akuntansi untuk kepentingan jangka pendek.
Selain mempengaruhi
pemilihan kebijakan akuntansi, nilai konservatisme akuntansi juga akan
mempengaruhi sikap oportunis manajer. Hipotesis bonus plan, dan debt covenant
menggambarkan perilaku bahwa untuk kepentingan
oportunis manajemen akan
memilih kebijakan akuntansi yang
dapat menaikkan laba. Penelitian terdahulu
yang menguji oportunis manajemen
secara implisit selalu mengasumsikan bahwa semua manajer akan bertindak sama
ketika menghadapi kontraktual dan insentif yang sama. Namun demikian, heflin,
kwon dan wild (2002) menemukan bukti bahwa manajer dengan reputasi eksternal
yang tinggi kurang responsif terhadap motivasi kontraktual untuk
menggunakan kebijakan akuntansi
(accrual) yang oportunis
dibanding manajer dengan reputasi yang lebih Rendah. Temuan heflin et al (2002) mengindikasikan
bahwa berlakunya faktor kontraktual
dipengaruhi oleh reputasi
eksternal. Hasil penelitian ini memunculkan dugaan bahwa faktor internal berupa
konservatisme akuntansi perusahaan juga dapat mempengaruhi motivasi oportunis
kontraktual dari manajer.
Kelima, perlunya
motivasi ganda dalam memilih kebijakan
akuntansi. Kajian tentang
pemilihan kebijakan akuntansi perusahaan
berhubungan erat dengan perilaku manajemen.
Kebanyakan penelitian yang mengkaji tentang kebijakan akuntansi didasarkan
pada rasionalitas bonus plan, debt
covenant dan political cost yang melihat kebijakan akuntansi berdasarkan perilaku oportunis dalam
memilih kebijakan akuntansi
sebagai motif individual (heflin, et al. 2002). Pada kenyataannya
manajemen dapat dihadapkan dengan dua motif memilih kebijakan akuntansi yang
berbeda atau antar motif mempunyai hubungan (field, et al. 2001). Ketika manajemen memilih kebijakan akuntansi
dihadapkan pada oportunis untuk
mandapatkan bonus, pada
saat yang sama manajemen juga dapat dihadapkan pada keinginan untuk menghindari dilanggarnya
perjanjian utang (debt covenant violation).
Hal ini menunjukkan
bahwa manajemen bukan hanya
dihadapkan pada konflik Kepentingan antara
manajemen dengan stockholder, tetapi juga antara manajemen
dengan debtholder dan antara stockholder dan debtholder. Pertanyaan yang timbul adalah:
apakah dalam memilih
kebijakan akuntansi hanya dilatarbelakangi oleh satu motif saja? Padahal, kebijakan
akuntansi yang bertujuan untuk memaksimalkan kompensasi bagi manajer juga dapat
menurunkan pelanggaran perjanjian
utang (debt covenant violation)
dan meningkatkan nilai assets perusahaan
(fields et al.,
2001). Hal ini
menunjukkan bahwa kebijakan akuntansi dimotivasi oleh tiga pertimbangan
yaitu kompensasi manajer, penghindaran perjanjian utang, dan peningkatan nilai
perusahaan.
Bonus plan
dan debt covenant mengasumsikan bahwa perusahaan tidak
mendapatkan tekanan dari luar perusahaan, sehingga dengan mudah manajemen dapat
memilih kebijakan akuntansi yang dapat menaikkan laba. Pada konteks
indonesia, banyaknya partai
politik, lembaga swadaya masyarakat dan upaya agresif pemerintah dalam
menarik pajak dapat menjadi bahan pertimbangan bagi manajer dalam memilih
kebijakan akuntansi. Besarnya laba perusahaan menentukan besarnya political
cost yang harus dikeluarkan perusahaan.
Perusahaan besar dengan
laba yang besar Merupakan sumber pendanaan partai
politik dan lembaga swadaya
masyarakat, sehingga akan
timbul political cost yang
besar. Dalam konteks ini, manajemen dapat dihadapkan pada oportunis bonus plan atau menghindari debt
covenant yang cenderung menaikkan
laba dan poltical cost yang besar karena adanya pihak luar perusahaan.
Sehubungan dengan uraian diatas, maka penelitian yang menggabungkan dua motif
yang searah atau dua motif
yang berseberangan perlu
untuk dilakukan terkait dengan perilaku manajemen jika dihadapkan pada
multiple konflik pentingan.
1.7. perumusan masalah
Dalam konteks agensi,
motif memilih kebijakan akuntansi berhubungan erat dengan adanya perbedaan
kepentingan antar pihak
yang terkait dengan perusahaan. Watts dan zimmerman (1990)
mengidentifikasikan tiga motif ekonomi yang melatar belakangi pemilihan
kebijakan akuntansi, yaitu:
bonus plan, debt covenant,
dan political cost.
Sehubungan dengan hipotesis bonus plan, inoue dan thomas (1996)
menyatakan bahwa manajer yang
pembayaran bonusnya ditentukan berdasarkan
besarnya laba perusahaan mempunyai
insentif untuk meningkatkan laba
melalui Prosedur akuntansi. Hipotesis bonus plan didukung oleh temuan
robbin, et al. (1993) yang meneliti pada rumah sakit non profit menemukan bahwa
hasil regresi logistik untuk variabel kompensasi manajemen adalah signifikan
berpengaruh pada pemilihan kebijakan akuntansi yang dapat menaikkan
laba. Sementara itu,
hasil penelitian yang tidak
signifikan didapat oleh
inoue dan thomas (1996).
Berbeda dengan
hipotesis bonus plan, motivasi manajemen memilih kebijakan akuntansi yang dapat
menaikkan laba adalah agar mendapatkan bonus, pilihan kebijakan akuntansi yang
dapat menaikkan laba pada hipotesis debt covenant bertujuan untuk menghindarkan
perusahaan dari pelanggaran debt covenant (watts dan zimmerman, 1990;
missonier-pierra, 2004; fields, et al 2001). Jaggi dan leung (2003) yang
meneliti perusahaan di hong kong terkait dengan pemilihan metode akuntansi
untuk penilaian investasi pada sekuritas menemukan bukti bahwa debt equity
ratio menjadi pertimbangan penting dalam memilih metode penilaian investasi
pada sekuritas. Pada objek penelitian di perusahaan jepang, inoue dan thomas
(1996) yang menguji kebijakan akuntansi untuk metode penyusutan, retirement
allowance, marketable securities, dan research dan development mendapatkan
hasil yang signifikan untuk leverage pada level baik untuk kebijakan akuntansi
4 metode maupun tiga metode. Sementara itu, penelitian yang dilakukan oleh Missioner-piera
(2004) yang menginvestigasi determinan ekonomik pemilihan kebijakan akuntansi
di swiss menunjukkan bahwa leverage tidak Mempengaruhi manajemen untuk memilih
kebijakan akuntansi yang dapat menaikkan laba.
Hipotesis political
cost menyatakan bahwa perusahaan yang mengalami tekanan politik akan menghindari
political cost dengan cara memilih kebijakan akuntansi yang dapat menunda
pelaporan laba (missonie- pierra, 2004; fields et al 2001; deegan 2004).
Hipotesis ini didukung oleh penelitian inoue dan thomas (1996) yang memproksi
political cost dengan besarnya perusahaan dan missonier pierra 2004 yang
memproksi political cost dengan kekuatan buruh. Sementara itu, proksi besarnya
perusahaan dari missioner-pierra (2004) menunjukkan penolakan terhadap
hipotesis political cost.
Berdasarkan uraian
di atas maka
timbul pertanyaan penelitian sebagai berikut:
Apakah debt
covenant, bonus plan
dan political cost mempengaruhi
manajemen dalam memilih kebijakan akuntansi?
Ketiga motif
pemilihan kebijakan akuntansi
di atas lebih terfokus pada kepentingan ekonomi dari berbagai pihak yang
terkait dengan perusahaan. Sementara itu, hoopwood (1987) mengemukakan bahwa
akuntansi dipertimbangkan sebagai salah
satu tujuan terpenting bagi organisasi ketika digabungkan
dalam domain sosial. Kebijakan
pada setiap tingkat
organisasi dipengaruhi Oleh nilai
yang dianut pengambil
keputusan (hofstede, 1980). Gray
(1988) dalam kerangka pikirnya mengungkapkan bahwa nilai
akuntansi mengutamakan pendekatan kehati-hatian untuk ukuran
seperti halnya mengatasai ketidak pastian kejadian dimasa yang akan datang
bertentangan dengan pendekatan yang lebih optimistik, laissez-faire,
risk-taking.
Konflik antar
manajemen dapat terjadi jika ada
perbedaan pemahaman tentang suatu nilai yang ada diperusahaan. Terkait dengan
pemilihan kebijakan akuntansi, nilai konservatisme akuntansi
ini mendorong manajemen untuk bersikap hati-hati (concervatism) yaitu
cenderung untuk memilih
kebijakan akuntansi yang dapat
menunda pelaporan laba.
Sementara itu, manajemen yang
lain tidak menginginkan penerapan konservatisme
akuntansi dan cenderung lebih menyukai kebijakan akuntansi
yang dapat mempercepat pelaporan
laba. Setiap perusahaan mengembangkan prosedur dan kebijakan akuntansi
dengan memperhatikan kepentingan
dari semua pihak yang terkait, yang membedakan antara perusahaan satu dengan
yang lainnya adalah cara memahami situasi akuntansi yang ada dalam perusahaan
(geriesh, 2003). Uraian di atas
mengindikasikan adanya permasalahan penelitian sebagai berikut:
Apakah nilai
konservatisme akuntansi mempengaruhi manajer dalam memilih kebijakan akuntansi?
Reputasi eksternal
mempengaruhi sikap oportunis manajemen
mendapatkan bonus dan menghindari pelanggaran debt covenant dengan memilih kebijakan akuntansi yang dapat
menaikkan laba (heflin et al, 2000). Sementara itu, konservatisme akuntansi
perusahaan mengarahkan manajemen perusahaan untuk memilih kebijakan akuntansi
yang bersifat hati-hati dan dapat menunda
pelaporan laba. Manajemen
yang memegang nilai konservatisme akuntansi
dapat juga dihadapkan pada oportunis
untuk mendapatkan bonus
dan menghindar dari pelanggaran debt covenant. Hal ini menimbulkan
pertanyaan penelitian sebagai berikut:
Apakah
konservatisme akuntansi dapat mereduksi
pemilihan kebijakan akuntansi yang dapat menaikkan laba untuk tujuan oportunis
manajemen mendapatkan bonus dan
menghindar dari pelanggaran
debt covenant?
Dalam memilih kebijakan
akuntansi, manajemen dihadapkan
pada lebih dari
satu kondisi (motif). Perusahaan yang menerapkan bonus
plan, pada saat yang sama juga dapat
dihadapkan pada debt covenant. Secara Teorities, manajemen mempunyai oportunistik untuk
mendapatkan kompensasi dengan mengeksploitasi kebijakan akuntansi
yang dapat menaikkan laba,
seiring dengan itu, manajemen juga mempunyai kesempatan untuk menghindari
pelanggaran debt covenant (fields et al 2001). Pilihan kebijakan
akuntansi yang dapat menaikkan laba berdampak pada distribusi kekayaan pada
manajemen dan debtholder, sehingga
distribusi kekayaan pada stockholder menjadi berkurang.
Pertanyaan yang timbul adalah,
kenapa stockholder masih
memberikan bonus pada manajemen,
padahal dengan adanya bonus terjadi transfer kekayaan ke manajemen dan transfer
kekayaan ke debtholder.
Manajemen dapat
dihadapkan pada dua motif yang bertolak
belakang yaitu kepentingan
untuk mendapatkan bonus dan kepentingan untuk meminimalisir
political cost. Manajemen
dihadapkan pada trade
off antar dua kepentingan tersebut.
Oportunitik manajemen
menginginkan bahwa kompensasi
manajemen menjadi besar, tetapi
jika dihadapkan pada fakta bahwa tekanan
political cost sangat kuat maka bonus yang besar juga akan diiringi dengan
political cost yang besar pula. Political cost yang besar berarti terjadi
transfer kekayaan ke pihak ketiga yang sangat besar pula. Dalam Konteks
indonesia, pihak ketiga (partai politik, lembaga swadaya masyarakat dan
pemerintah) relatif kuat. Kenaikan bonus akan diiringi kenaikan political cost,
sehingga kinerja perusahaan
juga akan menjadi
tidak baik. Berdasarkan uraian di atas maka dapat dirumuskan
permasalahan penelitian sebagai berikut:
Apakah manajemen dalam
memilih kebijakan akuntansi
dipengaruhi oleh interaksi
antara motif bonus plan dengan
debt covenant dan interaksi antara bonus plan dengan political cost?
1.8.orisinalitas
penelitian
Penelitian ini
mengembangkan penelitian terdahulu yang
dilakukan oleh missonier-piera (2004);
zmijewsky dan hagerman (1981), skinner (1993), dan hand (1998) yang fokus pada portofolio kebijakan akuntansi (multiple
method/income strategy). Penelitian ini berbeda dengan penelitian terdahulu
dalam hal:
1. Penelitian
yang dilakukan oleh
missonier-piera (2004) dan
zmijewski dan hagerman (1981) adalah penelitian tentang kebijakan
akuntansi (strategi laba)
yang Menganalisis determinan ekonomi secara individual (single motive).
Selain menganalisis motif
tunggal yaitu bonus plan,
debt covenant dan
political cost, dengan
diinspirasi dari fields et al (2001), penelitian ini juga menganalisis motif ganda (multiple
motive) yang menginteraksikan bonus plan dengan debt covenant dan bonus plan
dengan political cost. Interaksi bonus plan dengan debt covenant menunjukkan
kesetaraan arah kebijakan akuntansi antar dua motif. Sehingga perpaduan dua motif ini akan memperkokoh keputusan untuk memilih kebijakan akuntansi
yang dapat menaikkan laba. Sementara
interaksi antara bonus plan dengan political cost
menggambarkan dua motif yang saling bertentangan sehingga akan tergambar trade
off antara dua motif tersebut.
2. Selain menganalisis
debt covenant, bonus plan dan political
cost sebagai motif
tunggal maupun motif ganda, penelitian ini juga mencoba
mengembangkan konsep nilai konservatisme akuntansi perusahaan. Berlandaskan
pada pandangan fama (1990) bahwa ada monitoring internal antar manajemen dalam
perusahaan, maka konflik antar manajemen dalam perusahaan akan
terjadi. Terkait dengan konservatisme akuntansi perusahaan, konflik Kepentingan timbul karena
adanya perbedaan nilai tentang konservatisme akuntansi dari masing masing
manajemen. Manajemen dengan latar belakang nilai konservatisme akuntansi
yang tinggi bertolak belakang dengan manajemen yang berlatar belakang konservatisme
akuntansi yang rendah.
3. Penelitian ini juga berbeda dengan
penelitian heflin et al, (2000) yang
menggunakan reputasi eksternal sebagai faktor yang mempengaruhi
sikap oportunis manajemen dalam memilih kebijakan akuntansi. Sementara itu,
penelitian ini menggunakan konservatisme
akuntansi sebagai cerminan
nilai yang diyakini oleh manajemen perusahaan. Nilai konservatisme
akuntansi dapat mempengaruhi manajemen dalam memilih kebijakan akuntansi serta
mempengaruhi sikap oportunis
manajemen dalam memilih kebijakan
yang dapat menaikkan laba.
4. Proksi variabel yang mencerminkan political
cost pada penelitian terdahulu sebagian besar adalah besarnya perusahaan yang
diukur dengan total assets, dan penjualan
bersih. Berbeda dengan
penelitian terdahulu, selain menggunakan besarnya perusahaan, penelitian
ini juga memproksi political cost
dengan kekuatan buruh yang
diukur dengan banyaknya Karyawan. Proksi ini dipilih
karena perusahaan- perusahaan di indonesia
lebih cenderung ke
padat karya daripada padat
modal, sehingga political
cost juga dicirikan oleh banyaknya karyawan perusahaan.
5. Berbeda dengan proksi bonus plan yang
digunakan oleh robbin, et al. (1993) yaitu bonus plan aktual, penelitian ini
juga menggunakan kepemilikan manajemen dalam perusahaan sebagai proksi dari
bonus plan. Kepemilikan manajemen menunjukkan oportunis manajemen. Jika
manajemen mempunyai kepemilikan yang besar maka manajemen akan mengabaikan
bonus dan lebih mengutamakan
dividen dan jika
kepemilikan manajemen kecil (bahkan kepemilikan manajemen = 0) maka
manajemen akan lebih mengutamakan bonus.
6. Kebijakan akuntansi pada
penelitian terdahulu
meliputi portofolio kebijakan
akuntansi yang terkait dengan
penyusutan, persediaan, investasi dalam sekuritas, penelitian
dan pengembangan (r
& d), dan pajak penghasilan. Pada penelitian ini
kebijakan akuntansi meliputi kebijakan akuntansi penilaian persediaan, penyusutan
dan penilaian piutang. Sepanjang pengetahuan
peneliti, penilaian piutang tidak pernah diteliti sebagai bagian
dari kebijakan akuntansi. Penilaian piutang
dapat dilakukan dengan Metode dirrect write off dan metode
allowance. Ketika perusahaan memilih metode allowance perusahaan harus mengakui adanya biaya
penghapusan piutang. Sementara itu, metode
dirrect write off
hanya mengakui biaya
penghapusan piutang hanya pada saat
terjadi penghapusan piutang usaha.
Perbedaan pengakuan biaya penghapusan piutang ini akan mempengaruhi
besarnya laba yang dihasilkan perusahaan.
1.9. Manfaat penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat
memberi kontribusi pengembangan
teori akuntansi positif. Paradigma ini merupakan perluasan dari teori akuntansi
positif yang dikembangkan oleh watts dan zimmerman (1986) yang meliputi debt
covenant hypothesis, bonus plan hyphothesis, dan political hypothesis. Teori
akuntansi positif dibangun berdasarkan
hubungan kontraktual antara manajemen- stockholder, manajemen-debtholder, dan
manajemen- pihak ketiga, penelitian ini diharapkan dapat memberi
kontribusi terciptanya perspektif baru dalam teori akuntansi yang terkait
dengan hubungan kontraktual antar
manajemen dalam perusahaan. Secara
lebih Spesifik, penelitian ini diharapkan dapat mengungkap konflik
kepentingan atas nilai
konservatisme akuntansi antar manajemen
dalam perusahaan, sehingga dapat memperluas khasanah ilmu pengetahuan tentang
motif manajemen dalam memilih kebijakan akuntansi dengan memasukkan konservatisme
akuntansi perusahaan sebagai
cerminan nilai yang dianut perusahaan.
Kontribusi praktis bagi
manajemen adalah bahwa manajemen lebih
baik menggunakan kebijakan akuntansi dalam mengelola informasi
laba yang akan dilaporkan. Penelitian
ini diharapkan dapat
memberikan masukan bagi manajemen
perusahaan bahwa untuk
menghadapi tarik ulur kepentingan antar stakeholder, manajemen masih
dapat memanfaatkan kebijakan akuntansi
sebagai sarana untuk mengelola laba perusahaan. Selain tidak melanggar aturan,
strategi laba dengan mengeksploitasi kebijakan
akuntansi juga murah, sehingga manajemen tidak perlu
melakukan praktek tercela.
Kebijakan akuntansi
yang dipilih perusahaan mencerminkan perilaku manajer perusahaan. Sehubungan
dengan itu, penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi stockholder dan
debtholder untuk mengevaluasi kinerja
manajemen. Debtholder dapat
mengevaluasi Kecenderungan
perilaku manajemen dengan mengevaluasi kebijakan akuntansi yang
dipilih oleh manajemen.
Tarik ulur kepentingan
antara berbagai pihak yang terkait dengan kebijakan akuntansi mengambarkan
kompleksitas yang tinggi
dari pilihan kebijakan
akuntansi. Bukti opportunistik manajemen
dalam membela kepentingannya mengharuskan
pemegang otoritas bursa (badan pengawas pasar modal) untuk membuat
regulasi yang mencerminkan sikap keterbukaan dari para emiten bursa efek yang
berhubungan dengan kebijakan akuntansi perusahaan. Badan pengawas pasar modal
dapat mengeluarkan regulasi bahwa para emiten wajib mengungkapkan informasi tentang kecenderungan perusahaan dalam
memilih kebijakan akuntansi.
Bila perlu, bapepam mengharuskan
pihak independen (auditor) untuk
mengungkapkan tingkat konservatisme laporan keuangan dalam opini auditnya.
1.5. Tujuan penelitian
Penelitian ini
bertujuan untuk
1. Menganalisis perilaku manajer dalam menyusun strategi
laba perusahaan melalui kebijakan akuntansi.
Motif ekonomi berupa
penghindaran terhadap biaya
politik (political cost), pelanggaran
atas perjanjian utang (debt
covenant – agency cost), dan kompensasi manajemen (bonus plan) dianalisis untuk
melihat perilaku manajemen dalam memilih kebijakan akuntansi. Analisis ini
menggambarkan konflik kepentingan antar
stakeholder perusahaan.
2. Mendapatkan bukti
empiris bahwa perbedaan
nilai konservatisme
akuntansi antar manajemen
akan mempengaruhi perilaku
manajemen dalam memilih kebijakan akuntansi.
3. Mengurai tentang
peran nilai konservatisme akuntansi
dalam mempengaruhi sikap oportunis manajemen
4. Menguji
untuk mendapatkan bukti
empiris bahwa dalam
memilih kebijakan akuntansi dapat
dihadapkan pada dua
motif sekaligus yaitu dengan
menginteraksikan antara bonus
plan dengan debt
covenant dan bonus plan dengan
political cost.
No comments:
Post a Comment